Ujung Genteng – Pagi itu di Desa Ujung Genteng, udara pantai yang sejuk dan dingin membelai lembut wajah Apri. Anak Desa ini, dengan wajah penuh senyum, menceritakan situasi Desanya yang terletak di kaki Pegunungan Salak dan Halimun, Sukabumi, Jawa Barat. Sabtu, (12/10/2024)
Ia bercerita tentang Desanya yang bernama Gelaralam yang bukanlah tergolong Desa biasa. Di Gelaralam inilah, kehidupan adat dan teknologi menyatu dalam harmoni, menciptakan sebuah kisah tentang perjuangan, kemandirian, dan inovasi.
Seperti yang sering dikutip dari Eleanor Roosevelt, “Small minds discuss people, average minds discuss events, great minds discuss ideas.” Kalimat ini selalu terngiang dalam benak Apri. Ia percaya, pemikiran besar adalah kunci untuk membangun masa depan. Di desanya, ide besar itu kini berwujud dalam sebuah inovasi: teknologi informasi yang dirancang bukan hanya untuk kemajuan, tetapi juga untuk menjaga tradisi yang telah ada selama ratusan tahun.
Desa Gelaralam adalah perpindahan dari Desa Ciptagelar yang berjarak 1 Kilometer. Perpindahan Desa ini sudah yang ke-19 kali oleh komunitas adat Kasepuhan yang telah berdiri sejak tahun 1368.
Setiap kali berpindah, masyarakat membawa serta tradisi, adat, dan keyakinan yang teguh. Salah satunya, larangan menjual padi atau beras—simbol kehidupan bagi mereka. Namun, tradisi ini tak menghalangi mereka untuk menerima unsur-unsur modern yang bermanfaat.
Abah Ugih, pemimpin adat yang kini menjabat, memandang jauh ke depan. Ia memiliki visi besar untuk desanya: kemandirian pangan, energi, dan komunikasi. Dari kesukaannya pada barang elektronik, muncul ide untuk membangun jaringan internet desa yang menghubungkan warganya dengan dunia luar. Tapi, ini bukan perkara mudah. Desa yang terpencil, dengan akses terbatas, membuat tantangan terasa berat.
Suatu hari pada tahun 2017, Apri dan Abah Ugih bertemu Kang Gustaff dari Common Room. Pertemuan itu menjadi titik awal perubahan. Pelatihan internet dimulai, dengan para pemuda desa, termasuk Apri, sebagai peserta. Meskipun banyak dari mereka hanya berpendidikan sekolah dasar, semangat untuk belajar sangat tinggi.
Lambat laun, jaringan internet mulai terpasang di seluruh desa. Dari yang tadinya hanya beberapa titik, kini hampir seluruh wilayah desa telah terhubung melalui kabel fiber optic. Pengumuman desa kini cukup disampaikan melalui WhatsApp, menggantikan cara-cara tradisional yang memakan waktu dan tenaga. “Ini memudahkan Abah Ugih dalam memantau dan membina masyarakat,” ujar Apri sambil tersenyum bangga.
Apri, yang pernah merantau bekerja di Jepang, kini kembali untuk mengabdi. Dengan bekal pengetahuannya, ia berupaya memberdayakan masyarakat dalam bidang teknologi informasi. Pendapatan dari penjualan pulsa internet di desa bahkan mencapai ratusan juta rupiah per bulan, sebuah angka yang luar biasa untuk sebuah desa terpencil. Ini bukan sekadar bisnis, ini adalah bukti kemandirian yang nyata.
Bukan hanya internet, Abah Ugih bersama Komunitas Internet Desanya, kini tengah mengembangkan siaran televisi desa yang menyiarkan kegiatan budaya, adat, dan tradisi. Dalam rencana, mereka juga akan mendirikan radio desa, sebuah langkah maju, menuju kemandirian dalam teknologi informasi.
Di sebuah kafe kecil di tepi pantai Tanjung Genteng, Saya bersama Apri duduk sambil ngobrol dan dia berujar “Ayo Pak Kadis, main ke Desa Gelaralam. Tempatnya damai, tenang, seperti dalam cerita-cerita di buku pelajaran kita dulu,” ajaknya dengan semangat. Dalam dirinya, terpancar semangat besar, harapan, dan solusi atas kebuntuan yang pernah dialami desanya dalam hal komunikasi dan informasi.
Kini, Apri bersama komunitasnya telah membuktikan bahwa dengan pikiran besar, desa terpencil pun bisa membangun kemandirian yang siap menghadapi masa depan.
Siapa sangka, dari tempat yang terpencil, ide-ide besar sedang tumbuh subur, mengalir dari gunung, melintasi laut dan meretas jaringan internet, hingga ke seluruh dunia.
Penulis : Sudaryano R. Lamangkona
Sumber : PPID Utama/Diskoninfosantik/Humas Pemprov. Sulteng